Penerapan Metoda Binter dalam Menangani Konflik Dalam Negeri
PENERAPAN METODE
BINTER
DALAM
MENANGANI KONFLIK DALAM NEGERI
Kehidupan bangsa Indonesia di Era Globalisasi,
ditandai oleh pesatnya perkembangan teknologi dan informasi serta era
perdagangan bebas, dimana hubungan antar negara menjadi semakin dekat dan
memunculkan perubahan sikap dan perilaku masyarakat sebagai dampak dari
perubahan kondisi dinamika sosial. Hal ini adalah
sebuah kepastian, bahwa peradaban bangsa-bangsa menuju kepada dimensi ruang
yang tak terbatas dan saling berinteraksi satu sama lain. Kenyataan itu tentu
menimbulkan tantangan bagi semua negara karena masuknya era keterbukaan dengan
sendirinya membawa mindset ideologi dan seperangkat values yang tak
dapat dicegah serta dapat mempengaruhi cakrawala berpikir yang seringkali
bertentangan dengan akar budaya dan idealisme bangsa.
Konsep Negara bangsa yang menyatakan bahwa adanya Negara
dan bangsa adalah adanya kehendak bagi orang-orang untuk bersatu mulai
dipertanyakan bagi kita, sebab berbagai krisis yang melanda dunia baik ekonomi,
politik, perang dan persaingan bebas sebagai
akibat dari keharusan suatu bangsa untuk mempertahankan kelangsungan hidup
mengakibatkan sulitnya bagi orang-orang untuk mematuhi satu aturan dan lebih
mengedepankan perbedaan sebagai dampak pergeseran pandangan dan pola pikir yang
diserap melalui media, teknologi informasi dan
transformasi universal. Bagi bangsa Indonesia sendiri, kini telah terjadi
krisis multi dimensional yang saling mengait. Krisis, dapat mengakibatkan
konflik dan konflik merupakan berbagai acaman bentuk hubungan antar manusia
yang antagonistik (berlawan) baik yang dapat terlihat secara jelas maupun
tersembunyi, sementara krisis merujuk pada ketidakmampuan sumber daya khususnya
manusia dalam menjawab permasalahan yang ada. Konflik yang terjadi dalam
kehidupan sosial merupakan salah satu dampak dari semua krisis yang terjadi,
yang dapat melahirkan ancaman baru.
Bila melihat akar sejarah yang tidak dapat dipisahkan
sebagai kultur asli bangsa Indonesia, nyatalah bahwa bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai
aspek pemikiran lintas ideologi dan
memperoleh warisan struktur kemasyarakatan era kolonial yang sulit untuk dapat
dirubah. Semua ini mengandung gejala konflik laten yang dapat merugikan dan
mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa jika kita mengadopsi sedemikian saja
seperangkat nilai asing sehingga mengakibatkan krisis. Dewasa ini, dampak
krisis ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan
diri ( self-confidence) sebagai bangsa dan krisis terhadap penegakan hukum. Krisis
kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri
sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus
datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya untuk dapat diselesaikan. Sebagai
contoh, aspirasi politik untuk memisahkan diri atau membuat lambang sendiri di
suatu daerah yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah, adalah salah satu
manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu “nation”.
Krisis hukum adalah gejala kini yang kita lihat sebagai dampak daripada sikap
antipati masyarakat yang terus tumbuh terhadap suksesi penegakan hukum yang
dirasakan tidak pernah mendapatkan rasa keadilan dan merebaknya tindak
kejahatan. Apabila krisis ini tidak dapat segera diatasi , maka eksistensi
Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan karena dampak
daripada krisis ini akan dapat meluas sehingga mengecilkan diplomasi Indonesia
di dunia Internasional disebabkan oleh lemahnya pertahanan diri (self defence).
Akhirnya kita hanya akan terus tergantung pada bangsa
asing, bukan hanya persoalan ekonomi semata, namun lama kelamaan tanpa sadar
kita telah menggunakan referensi asing dalam mengatasi masalah-masalah sosial
yang mana hal tersebut hanya dapat diketahui dan diperbaiki oleh diri sendiri,
hal ini dapat dikatakan krisis karakter. Krisis inilah yang dapat menjerumuskan
Indonesia
Selain itu Proses demokratisasi yang menguat di Indonesia pada era reformasi merupakan salah satu
dampak yang dapat dirasakan langsung sebagai akibat adanya interaksi
nilai-nilai universal dan pada kenyataannya telah menyebabkan terjadinya
serangkaian perubahan mendasar dan dinamika di tingkat nasional.
Perkembangan tersebut di satu sisi telah membawa dampak positif antara
lain terciptanya kehidupan negara Indonesia yang lebih demokratis. Namun
disisi lain juga telah berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan berbangsa
dan bernegara Indonesia, dengan terjadinya berbagai benturan kepentingan antar
komunitas bangsa yang tidak jarang menimbulkan konflik baik yang bersifat vertikal maupun horizontal
seperti peristiwa konflik kekerasan telah terjadi di beberapa wilayah Indonesia
seperti konflik di Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Sambas, NTB, Sampit
dan Ambon yang menyentakkan kesadaran sehingga memicu
terjadinya disintegrasi bangsa yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa.
Bila kita cermati lagi khususnya di tahun 2014 ini,
merupakan tahun politik dimana setiap partai berusaha memobilisasi massanya
dengan cara memaparkan visi dan misinya. Tentunya dalam perekrutan massa biaya
yang dikeluarkan untuk menaikkan elektabilitas partai memerlukan biaya yang
tidak sedikit. Bila hal terburuk dari suatu partai mengalami kegagalan dalam
mengikuti pemilihan caleg apakah partai tersebut mampu menerima kekalahan
sedangkan pengeluaran yang dihabiskan tidak sedikit? Dengan komposisi massa
pengikut partai yang banyak, kemungkinan bisa bertindak brutal yang menyebabkan
timbulnya konflik antar massa partai.
Kondisi nyata yang ada, sebagian besar daerah selalu
mengalami konflik akibat ketidakpuasaan dalam Pilkada di daerah masing –
masing. Dalam skala daerah saja sudah timbul konflik yang cukup berkepanjangan.
Apakah hal tersebut berlaku juga di tingkat nasional? Mengingat bulan April
tahun ini akan dilaksanakan pemilihan Caleg dan September mendatang
dilaksanakan pemilihan Capres. Konflik politik dapat berkembang menjadi konflik
horizontal yang berkepanjangan apabila tidak ditangani secara tuntas.
Menyadari kondisi dan tantangan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara yang demokratis, pada tanggal 10 Mei 2012 Pemerintah telah
menerbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Undang-undang tersebut juga telah menetapkan
ruang lingkup penanganan konflik meliputi Pencegahan Konflik, Penghentian
Konflik, dan Pemulihan Pasca Konflik. Pencegahan konflik dilakukan antara lain
melalui upaya memelihara kondisi damai dalam masyarakat, mengembangkan
penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi konflik, dan membangun
sistem peringatan dini. Penanganan konflik pada saat terjadi konflik dilakukan
melalui upaya penghentian kekerasan fisik, penetapan status keadaan konflik,
tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban, dan/atau pengerahan dan
penggunaan kekuatan TNI. Selanjutnya, pada fase
pasca konflik, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan upaya pemulihan
pasca konflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan dan terukur melalui
upaya rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. UU No. 7 Tahun 2012 juga
mengatur mengenai peran serta masyarakat dan pendanaan penanganan konflik.
Kementerian Dalam Negeri juga menekankan pentingnya
optimalisasi peran pemerintahan kecamatan, desa dan kelurahan dalam melakukan
pembinaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat, serta pembangunan sistem
peringatan dini (early warning system)
yang diarahkan pada pembangunan kemitraan dan kewaspadaan dalam masyarakat.
Sebagai gambaran tentang mengenai bentuk konflik, seorang
narasumber dari Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam)
Mabes Polri menyampaikan tentang gambaran aktual konflik di beberapa
daerah dan hal-hal yang telah dilakukan POLRI, serta menambahkan hal-hal yang
perlu dilakukan dalam penanganan konflik komunal dan kekerasan horizontal
seperti optimalisasi peran Bintara Pembina Ketertiban Masyarakat
(Babinkamtibmas) dan implementasi program Perpolisian Masyarakat (Polmas) di
setiap kelurahan atau desa, pelibatan pranata adat dan/atau pranata sosial
dalam penanganan konflik, penegakan hukum dan keamanan dalam pencegahan konflik
termasuk penghentian konflik untuk melokalisir konflik, serta konsistensi
kegiatan dalam upaya pemulihan pasca konflik, meliputi rekonsiliasi,
rehabilitasi, dan rekonstruksi pasca konflik. Ukuran keberhasilan penanganan
konflik menurut Baharkam Mabes POLRI antara lain tidak terjadinya pengulangan
konflik, menurunnya konflik sosial, adanya konsensus/kompromi pemecahan
konflik, penegakan hukum secara tegas, proporsional dan profesional agar
konflik tidak meluas atau menjalar, mencegah terjadinya korban, perlakuan hukum
yang adil dan menjunjung tinggi HAM. Di sisi lain Kepala BIN menyampaikan
tentang hambatan yang dihadapi oleh pihak intelijen dalam penanganan konflik
sosial terutama deteksi dini dalam rangka pencegahan konflik, yaitu adanya
hasil kerja intelijen yang tidak mendapatkan respon secara proporsional. Untuk
itu BIN menyampaikan perlunya upaya peningkatan kapasitas dan kemampuan
kelembagaan intelijen dalam rangkadeteksi dini untuk pencegahan konflik. BIN
merekomendasikan dilaksanakannya sosialisasi UU No. 7 Tahun 2012, peningkatan
kerjasama dengan pakar sosial, koordinasi dan sinergitas jajaran intelijen,
serta peningkatan komunikasi dengan masyarakat.
Selain beberapa kelemahan dalam mendeteksi dini gejala
konflik, hal yang cukup menjadi kendala selama ini yakni terjadinya
keragu-raguan instansi baik TNI-POLRI-PEMDA dalam menanggulangi konflik yang
sedang berlangsung. Bila konflik dibiarkan secara terus menerus maka akan mengakibatkan
dampak yang cukup serius bagi wilayah setempat atau bisa menyebabkan menjadi
konflik warisan seperti yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Guna mengatasi dampak
dari konflik tersebut yang berpotensi pada meningkatnya eskalasi ancaman, TNI
AD sebagai bagian integral dari TNI dituntut untuk mampu berperan dalam
mewujudkan rekonsiliasi nasional di daerah melalui penyelesaian konflik baik
yang bersifat vertikal maupun horizontal dalam kerangka menjamin tetap tegaknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Untuk mewujudkan hal
tersebut, dibutuhkanlah suatu konsep yang strategis tentang aplikasi metode
pembinaan teritorial dalam usahanya melaksanakan pencegahan maupun penanganan
konflik di daerah oleh Kodim sebagai satuan komando kewilayahan. Sehingga peran
dan keberadaan Kodim di wilayah menjadi institusi yang dapat diandalkan oleh
masyarakat.
Dari
pembahasan di atas dapat ditarik suatu pokok permasalahan yaitu, Bagaimana penerapan metode Binter oleh
satuan kewilayahan dalam rangka penanggulangan konflik horizontal yang ada
dalam masyarakat ?
Pembinaan territorial
adalah segala upaya, pekerjaan, kegiatan dan tindakan yang dilakukan oleh
satuan TNI AD, baik secara berdiri sendiri maupun bersama dengan aparat terkait
dan komponen bangsa lainnya untuk membantu pemerintah dalam menyiapkan kekuatan
pertahanan aspek darat yang meliputi wilayah pertahanan dan kekuatan
pendukungnya serta terwujudnya kemanunggalan TNI-Rakyat. Dengan Binter sebagai
fungsi utama TNI AD maka kegiatan tentang Binter khususnya dalam membantu mengatasi
konflik horizontal diharapkan dapat terarah, terukur dengan benar dan konsisten
demi mencapai tujuan dan sasaran pembinaan yang telah ditentukan. Agar kegiatan
pembinaan mudah dipahami maka diperlukan adanya penggolongan dalam
penyelenggaraan pembinaan yang salah satunya meliputi pembinaan metode Binter
yang kegiatannya adalah Bintahwil, Binkomsos dan Bhakti TNI.
Pertama,
Pembinaan Ketahanan Wilayah atau Bintahwil .
Bintahwil dalam kegiatan Binter adalah segala upaya, pekerjaan dan tindakan
yang diselenggarakan oleh satuan TNI AD dalam rangka mewujudkan kekuatan
pertahan aspek darat, baik yang menyangkut wilayah pertahanan maupun kekuatan
pendukung yang memiliki ketahanan dalam semua aspek kehidupan dan memiliki
kemampuan dan keterampilan serta upaya bela Negara, untuk menangkal setiap
ancaman dan gangguan yang membahayakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI
yang dilaksanakan sesuai kewenangan dan peraturan perundang-undangan.
Kedua, Pembinaan
Komunikasi Sosial atau Binkomsos. Komunikasi sosial dalam kegiatan Binter adalah
upaya, pekerjaan dan kegiatan yang diselenggarakan oleh satuan TNI AD guna
penyampaian pikiran dan pandangannya yang terkait dengan pemberdayaan wilayah
pertahanan di darat yang meliputi wilayah pertahanan dan pendukungnya serta
membangun, memelihara, meningkatkan dan memantapkan kemanunggalan TNI-Rakyat.
Ketiga,
Bhakti TNI . Bhakti TNI dalam kegiatan Binter adalah
upaya, pekerjaan dan kegiatan yang diselenggarakan oleh satuan jajaran TNI AD
dalam membantu menyelenggarakan kegiatan bantuan kemanusian untuk menangani
maslah-masalah sosial atas permintaan instansi terkait dan atau inisiatif
sendiri dan terkoordinasikan serta berbagai hal yang terkait dengan penyiapan
wilayah pertahanan di darat dan kekuatan pendukungnya yang dilaksanakan baik
secara berdiri sendiri maupun bersama-sama dengan instansi terkait dan komponen
masyarakat lainnya.
Dalam
Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2012
telah diuraikan dengan jelas tentang upaya-upaya penangan konflik sosial, baik
pada kegiatan Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik maupun Pemulihan pasca konflik. Namun demikian
bagaimana upaya untuk mewujudkan semua tindakan tersebut belum diuraikan secara
lebih lanjut, hal ini mungkin karena perbedaan
tipologi wilayah Indonesia serta penanganan suatu bentuk konflik yang
sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak maupun instansi yang menjadi
pertimbangan dalam menentukan prioritas dan bentuk variasi kegiatan penanganan
konflik. Disamping itu dalam penanganan konflik sosial yang timbul di
masyarakat dewasa ini lebih berkonsentrasi pada penindakan hukum saja dimana
para pemimpin daerah lebih mengutamakan penanggulangan konflik saat konflik itu
terjadi, memang tidak dipungkiri bahwa pelibatan aparat Kodim sering ditempatkan
pada porsi yang jauh berbeda dengan Polri dengan alasan perbedaan fungsi
pertahanan dan keamanan, sehingga aparat Kodim seolah-olah bertindak sebagai
pemadam kebakaran ketika konflik sosial sudah menjadi besar dan meluas. Padahal
apabila kita mencermati dengan seksama arti dari pembinaan teritorial maka kita
akan tahu bahwa peran Kodim sangat
strategis sekali, yaitu menyiapkan
secara dini potensi wilayah menjadi kekuatan dalam rangka pertahanan negara
matra darat. Oleh sebab itu peran Kodim
bukan saja sebagai penindak tetapi justru lebih mengarah kepada pencegahan
konflik di wilayah.
Faktor yang
mempengaruhi keberhasilan Binter antara lain : a. Faktor Internal, Personel . Tingkat kemampuan anggota akan
berpengaruh dalam berkomunikasi kepada masyarakat, sehingga kondisi ini perlu
dicermati sebagai prioritas pembinaan ke dalam untuk mendukung pelaksanaan
komunikasi sosial secara optimal. Selain itu masih lemahnya pemahaman aparat
Kodim tentang konsep kemanunggalan TNI-Rakyat di era reformasi, sehingga
pola-pola yang diterapkan di lapangan masih digunakan pola lama ketika TNI
menjadi bagian dari penguasa. Hal ini ditunjukkan dengan masih terdapat sifat
arogansi beberapa aparat Kodim, sehingga
berakibat pada terbentuknya opini publik yang negatif terhadap di tengah-tengah
masyarakat. Ditambah lagi tingkat pendidikan formal yang dimiliki sebagian
besar aparat Kodim serta minimnya pengetahuan teknis manajemen penyelesaian
konflik terutama yang berbau SARA. Hal
ini akan berpengaruh terhadap kualitas pencapaian sasaran seperti yang
diharapkan. Hampir sebagian besar aparat Kodim merupakan prajurit yang sudah
cukup lama berdinas baik di satuan tempur maupun di satuan non tempur. Aparat
Kodim yang pernah berdinas di satuan tempur memang memiliki pengalaman dalam
mengatasi konflik horizontal namun hanya sebatas pengaman yang langsung turun
ke lapangan dalam membantu Polri. Dan dalam penanganannya pula, masih bersifat
satu komando dalam artian kegiatan di lapangan masih dikendalikan oleh unsur
Danton atau Danki, sehingga pengetahuan mengenai pemilihan informasi dalam
rangka deteksi dini masih terbatas. b.
Faktor Eksternal, Adat istiadat atau budaya masyarakat yang ada di daerah,
pola sikap dan pola tindak masyarakat yang ada di daerah, perkembangan lingkungan
strategis, perundang-undangan yang terkait dengan Otonomi Daerah ( Otoda ) yang
menjadikan visi dan persepsi yang masih berbeda antara Kowil dan instansi
lintas sektoral dalam aksi terpadu penanggulangan konflik yang terjadi di
wilayah. Hal ini terjadi karena belum tersosialisasikannya Undang-Undang
RI Nomor 7 tahun 2012 telah diuraikan
dengan jelas tentang upaya-upaya penangan konflik sosial dan aturan pelaksanaannya yang relatif masih
baru. Selain itu masih terdapat beberapa pihak tertentu kurang sepaham yang belum mengerti akan
keberadaan komando kewilayahan dan tidak senang kepada TNI sehingga menuntut
untuk pembubaran Kodam, Korem, Kodim dan Koramil. Hal ini akan menjadi kendala
dalam upaya membangun kembali kepercayaan dan citra.
Dalam pembuatan
konsep keterpaduan TNI dengan Pemda dalam rangka menanggulangi konflik
horizontal di daerah perlu dirumuskan tujuan dan sasaran agar dapat diperoleh
hasil yang optimal. Tujuan program ini adalah dapat memelihara dan meningkatkan
keeratan hubungan antara Kodim dengan segenap komponen bangsa di daerah dalam
usaha membangun suatu konsep penanganan gangguan dalam negeri untuk kepentingan
Pertahanan Negara. Sedangkan sasaran dirumuskan sebagai tiga tahap dalam konsep
keterpaduan peran TNI dan Pemda dalam penanganan gangguan keamanan dalam negeri
yakni tahap Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik maupun Pemulihan pasca konflik
Pertama, Pencegahan Konflik.
Agar kegiatan pembinaan teritorial oleh diarahkan
melalui Strategi pembinaan dan Konsep pembinaan sesuai tataran kewenangan
Dandim sehingga mewujudkan keselarasan pemahaman dengan aparat pemerintah
daerah yakni : a. Terwujudnya pemahaman masyarakat tentang kesadaran akan
keamanan wilayah serta tugas tanggung jawab tiap instansi dalam mengantisipasi
ancaman gangguan keamanan di daerah. b. Meningkatkan daya tangkal masyarakat
dalam rangka memantapkan ketahanan wilayah terhadap gangguan keamanan melalui
pembuatan protap bersama yang dilakukan oleh Kodim dan Pemda. c. Meningkatnya
pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan mengenai gejala-gejala
munculnya konflik di sekitar lingkungan.
Strategi Pembinaan
Dandim dalam rangka pengurangan gejala gangguan dalam negeri dilakukan melalui
kegiatan Bintahwil, Binkomsos dan Bhakti TNI. a. Bintahwil, kegiatan difokuskan pada ; 1) Penyusunan data
dan informasi akurat tentang potensi gangguan yang ada dalam wilayah tanggung
jawab teritorialnya baik yang sudah terjadi maupun potensi gangguan yang
mungkin akan terjadi. 2) Menyusun RO & Protap bersama dalam menangani
gangguan keamanan yang akan terjadi. Penyusunan dibuat dalam mengantisipasi
semua bentuk gangguan yang ada dan juga bentuk gangguan yang kemungkinan besar
akan terjadi. Kemudian selama berjalannya waktu, RO dan Protap haruslah selalu
disempurnakan dan dievaluasi untuk menjaga agar RO dan Protap tetap relevan
sesuai dengan perkembangan situasi yang ada.. b. Binkomsos dapat dilakukan dengan seluruh komponen daerah
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Seminar, Pidato, Ceramah,
Dialog, Sosialisasi dan Penyuluhan serta kegiatan lainnya tentang penanganan
konflik gangguan dalam negeri yang diarahkan pada: 1) Komponen Masyarakat
. Disini Dandim membina komunikasi sosial dengan komponen masyarakat antara
lain TOGA, TOMAS, TODAT dll untuk membangun hubungan emosional yang positif,
memelihara dan meningkatkan serta memantapkan keeratan hubungan antara
prajurit/satuan dengan masyarakat sehingga timbul keinginan masyarakat untuk senantiasa
menjaga keamanan dan ketertiban wilayah. Hal ini sangat penting sekali. Bila
kita cermati bentuk gangguan yang kerap terjadi yakni perselisihan antara massa
yang berbeda aliran atau organisasi. Komunikasi yang intensif dengan para TOGA,
TODAT maupun TOMAS merupakan sarana yang efisien, mengingat di kewilayahan
peran mereka masih sangat dominan di tengah-tengah masyarakat. 2) Pemerintah Daerah. Peran Dandim
dalam membina Komunikasi Sosial dengan pemerintah untuk memelihara dan
meningkatkan serta memantapkan keeratan hubungan antara prajurit/satuan dengan
aparatur/instansi pemerintah, terbangunnya pemahaman yang positif tentang
Binter Kodim dalam rangka usahanya membantu penanganan konflik gangguan di
wilayah, sehingga semua instansi bias saling bertukar informasi dalam menyikapi
setiap gejala konflik yang ada. c. Bhakti
TNI dilakukan dengan penyelenggaraan operasi bhakti dan karya
bhakti dalam rangka mengambil hati masyarakat terutama kelompok masyarakat yang
memiliki indikasi rawan konflik. Pelaksanaan kegiatan karya bakti seyogyanya
juga dibarengi dengan menciptakan opini yang berkembang dalam masyarakat.
Kedua, Penghentian Konflik
Pada kegiatan ini difokuskan penanganan dampak buruk yang ditimbulkan akibat
gangguan keamanan, yang meliputi: penyelamatan, evakuasi korban, harta benda
dan pengungsian. Pada masa penghentian konflik, peran Kodim menjadi lebih
kompleks. a. Bintahwil . Kegiatan Bintahwil yang dapat dilakukan antara lain yakni mencegah meluasnya konflik
dengan cara menjembatani perdamaian antara kelompok bertikai. Pada dasarnya
metode Bintahwil pada masa penghentian konflik sudah mengarah kepada
penyelesaian konflik. Namun konflik tersebut harus diselesaikan sesuai dengan
eskalasi yang terjadi. Apabila konflik masih bias diselesaikan di tingkat
kewilayahan teritorial Kodim, secepat mengkin diselesaikan. Upaya yang
dilakukan agar konflik tidak merebak secara luas yakni menjembatani
penyelesaian masalah kelompok yang bertikai. b.Binkomsos ,dilaksanakan oleh aparat kewilayahan yang ada di
Kodim dengan mengajak kelompok yamg bertikai agar tidak melanjutkan
pertikaiannya. Penjelasan yang rasional terhadap kelompok yang bertikai
setidaknya mampu meredam keinginan mereka melanjutkan pertikaiannya. Pada
dasarnya bila terdapat hubungan yang baik antara aparat kewilayahan dengan
kelompok yang terlibat konflik setidaknya mampu meredam konflik yangt ada. c. Bhakti TNI dilakukan dengan
karya bhakti yang melibatkan seluruh unsur TNI di wilayah yang dikoordinir oleh
Kodim dalam rangka mengurangi dampak konflik yang terjadi. Bentuk karya bakti
bisa dalam bentuk kegiatan fisik dan non fisik. Selain itu juga kegiatan bisa
diarahkan untuk melaksanakan pengamanan dalam terhadap pemukiman masyarakat.
Hal kemungkinan terjadi yakni bila bentuk gangguan dalam skala besar pastinya
akan mengakibatkan perusakan sarana dan prasarana umum.
Ketiga. Pemulihan
pasca konflik. Metode Bintahwil bertujuan
untuk memulihkan mental masyarakat. Disini Kodim melakukan Bintahwil dengan
mendata secara lengkap masyarakat yang terkena dampak konflik. Secara langsung
maupun tidak langsung konflik yang ada akan mempengaruhi masyarakat. Pemikiran
yang selalu timbul yakni ketakutan akan munculnya konflik tersebut. Untuk itu
yang dibutuhkan masyarakat adalah jaminan keamanan pasca konflik. Melalui
metode Bintahwil, kegiatan patroli rutin sangat diperlukan guna memberikan rasa
aman kepada masyarakat. Patroli yang
dilakukan dengan instansi lain ataupun patroli bersama akan dapat meningkatkan
rasa aman di kalangan masyarakat. Metode Binkomsos diarahkan pada sosialisasi
bahwa kemanan dalam wilayah sudah dijamin sehingga masyarakat tidak perlu resah
lagi dalam melakukan berbagai aktivitas. Binkomsos ini harus giat dilakukan
dikarenakan tidak semua masyarakat mengetahui eskalasi kondisi keamanan pasca
konflik. Binkomsos dapat dilaksananakan ke organisasi kemasyarakatan maupun
dapat bentuk media lainnya. Metode Bhakti TNI diarahkan pada perbaikan wilayah
ataupun sarana dan prasarana umum yang rusak akibat terjadinya konflik.
Tentunya sasaran dalam konflik mengarah kepada sarana umum. Melalui karya bakti
yang diikuti oleh segenap masyarakat mampu memperbaiki saran yang ada agar
digunakan masyarakat nantinya.
Dari uraian tentang Penerapan Metode Binter oleh Kowil Dalam Menangani Konflik
Horizontal, dapat disimpulkan bahwa Komando Distrik
Militer sebagai Komando Kewilayahan merupakan salah satu bentuk gelar kekuatan
TNI-AD yang memiliki peran signifikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersentuhan
langsung dengan masyarakat, khususnya dalam kegiatan penanggulangan gangguan
dalam negeri yang dilakukan melalui pembinaan teritorial, yaitu metode : Bintahwil, Binkomsos dan Bhakti TNI.
Penerapan ketiga metode ini dapat mencegah terjadinya konflik yang akan timbul
yang bermuara pada meningkatnya ketahanan bangsa dan Negara.
Page Information
Title: Penerapan Metoda Binter dalam Menangani Konflik Dalam Negeri
URL: http://hans-komp.blogspot.com/2014/03/essay-penerapan-metoda-binter-dalam_10.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
==================================================================
==================================================================
No comments:
Post a Comment